"Saya telah membuat lima aplikasi. Semuanya berbasis Android. Sebagian besar berkaitan dengan isu disabilitas. Dan semuanya Alhamdullah saya ikutkan lomba. Semuanya menang, ada yang emas, perak, dan perunggu," ujarnya saat ditemui di Susu Muria Cafe, Kudus beberapa waktu lalu. Aplikasi kedua yang dibuat bernama Locable. Adalah kepanjangan dari Location for Difable. Aplikasi ini untuk menjawab kendala teman-teman difabel agar bagaimana bisa mengakses tempat yang ramah disabilitas. Terakhir ada aplikasi guru ngaji. Aplikasi ini berguna untuk orang tua yang akan memilih guru ngaji untuk anaknya. Sebab di kota besar macam Jakarta, atau Surabaya, tidak sedikit guru ngaji yang mengajarkan ilmu yang radikal. Tak kalah membanggakannya, Anjas menjadi satu dari tiga mahasiswa Indonesia yang akan menuju Gedung Putih alias kantor presiden AS di Washington DC. Dia akan menyampaikan konsep sosial yang jadi filosofi warga Kabupaten Kudus, Gusjigang. Akronim dari akhlak yang bagus, pintar mengaji dan berdagang. "Saya ke Gedung Putih pada 21 September. Visa ditanggung embasi Amerika. Saya persentasikan konsep Gusjigang. Parameter orang beraklak akan seperti apa. Saya dapat kesempatan satu bulan di sana. Adu gagasan di sana. Semua proyek ditanggung penyelenggara." kata sulung dari dua bersaudara ini. Penolakan & Bullying Anjas mengalami kelainan penyakit tulang bernama Osteo Genesis Imperfecta. Kelainan berupa pengeroposan tulang dan merapuhnya tulang ketika masih kanak-kanak. Tepatnya sejak kelas 5 SD. Karena kondisi fisiknya itu, dia sempat mendapatkan penolakan saat hendak masuk salah satu SMP di Kudus. Walaupun akhirnya diterima, yang tidak dilupakannya, ada oknum guru di SMP itu pernah melontarkan kalimat agar Anjas masuk SMP luar biasa saja. "Saya punya pengalaman pahit saat masuk SMP, hampir ditolak karena saya difabel. Saat itu, NEM saya 28,5. Rata-rata nilai saya 9, sekian. Saya peringkat satu di sana. Tapi saya disuruh ke SMP LB oleh sekolah," terang Anjas "Mental anak pasti down. Nilai saya tinggi, nomor 5 se-kabupaten. Saya malah diminta ke SMPLB dengan alasan tidak punya guru untuk membimbing disabilitas. Saya tidak butuh itu. Mereka beralasan tidak punya fasilitas. Zaman dulu saya tidak punya kursi roda, saya digendong. Itu alasan yang tidak rasional," kenangnya. Anjas pun mengaku mengalami bullying dari lingkungan di SMP-nya. Tapi semua itu tidak berlanjut saat masuk SMA. Malah pihak sekolah memberikan dukungan penuh. "Meski akhirnya saya bisa masuk SMP itu, tapi di lingkungan sekolah itu saya kerap dibully, tidak mendapat dukungan sana sini. Beda saat saya masuk SMA. Di salah satu SMA favorit di Kudus, saya bisa masuk. Bahkan di SMA saya, memberikan peluang lebar untuk saya berkarya. Bahkan sekolah langsung membuat bidang miring (fasilitas difabel) tanpa saya minta," ujarnya. "Saat di SMP saya bukan siapa-siapa," ungkapnya mengenang momen yang masih membekas di hatinya.
Sumber : detik.com
|