Menunggu Nadiem Makarim Mengubah Kemendikbud Jadi 'Startup Decacorn'
Dewi Masitoh (1,266)
694 10 14-03-2013
1 suka
24-10-2019, 15:50:40

Disrupsi teknologi telah berlangsung di segala bidang dari usaha mengirim manusia ke Mars hingga bagaimana memesan Gojek. Tapi negara, menjadi satu entitas di dunia yang relatif lambat merespons percepatan laju teknologi informasi

Organisasinya yang kelewat besar dan urusannya yang sangat besar, membuat mesin birokrasi yang mapan, berjalan tertatih-tatih, ngantuk, dan enggan untuk berubah.

Dosen, peneliti, dan praktisi teknologi informasi dari Jurusan Ilmu Komputer FMIPA UGM, Mardhani Riasetiawan, menyambut baik terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Menurutnya, ada dua kata kunci rintisan solusi teknologi yang bisa diwujudkan Nadiem di Kemendikbud, sehingga bisa mengubah arah pendidikan tanah air yang telah mapan, yakni efektif dan efisien.

“Struktur organisasi di Kemendikbud yang kaku, birokratif, membuat proses bisnis atau layanan di dalamnya yakni kurikulum, metoda, pembangunan manusia, dan produk mereka lainnya, memang sudah masuk masa destruktif. Efektif dan efisien kata kunci untuk dimulainya inovasi " katanya saat dihubungi Rabu ( 23/10 )

Digitalisasi Data Pendidikan

Masalah dalam pengambilan keputusan di sebuah organisasi sebesar negara atau dalam hal ini salah satu lembaga dari negara, yakni Kemendikbud adalah data. Di masa teknologi informasi data adalah emas baru karena dengannya sebuah layanan baru akan bisa mengirim solusi dengan lebih efektif dan efisien.

Mentor Sekolah Data Sains (SADASA) dan founder KEDATA, Ujang Fahmi, mengatakan data di Kemendikbud belum sepenuhnya terdigitalisasi dan sebagian yang sudah terdigitalisasipun masih tersebar di banyak lembaga baik Dikbud daerah maupun direktorat yang lain.

“Data siswa, data guru, data nilai siswa, masih banyak data lain, sekolah dan kampus harus diubah menjadi smart school di mana semua datanya terdigitilisasi karena dia adalah produsen data utama dari sistem pendidikan kita,” katanya Rabu (23/10).

Tentang hal itu, dosen dan peneliti dari Pusat Kajian Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Sukamdi, mencontohkan bagaimana frustrasinya berhadapan dengan birokrasi pendidikan yang masih manual.

“Untuk mengurus kepangkatan juga jabatan dari asisten ahli, lector, dan seterusnya prosesnya sangat berbelit dan memakan waktu lama. Pelaporan-pelaporan penggunaan dana penelitian juga ribet sekali,” kata Sukamdi, melalui sambungan telepon kemarin.

Administrasi pendidikan di perguruan tinggi yang ribet membuat dosen lebih banyak mengurus administrasi ketimbang mengembangkan kualitas mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian masyarakat.

Mardhani, dalam beberapa tahun terakhir terlibat membantu Kemendikbud mentransformasi ujian nasional dengan artificial intelligence. Terkait data di Kemendikbud, menurutnya, masing-masing sekolah atau kantor sudah memiliki data yang cukup. Menjadi tidak cukup karena tidak ada keinginan untuk saling berbagi.

“Sehingga menurut saya tantangan terbesar sekarang adalah bagaimana membangun konektivitas data, tidak harus terintegrasi, tapi bisa saling berbagi, untuk pengambilan keputusan akan jauh lebih presisi,” jelasnya.

Mardhani menjelaskan, data penyusun nilai rapor sekolah, data ujian kenaikan kelas atau kelulusan, saat ini hanya untuk mengisi kolom di rapor. Tidak pernah ada analisis yang dilakukan sejak ujian sekolah mulai kelas 1 SD sehingga bisa menelusuri minat bakat sejak kecil. Parameter pendidikan, akhirnya, hanya bertumpu pada menghabiskan kuota materi yang harus diajarkan sedangkan pengukuran kualitas tidak menjadi bagian utama dari seluruh proses pendidikan.

“Karena memang tidak punya indikator parameter keberhasilannya kecuali nilai rapor. Padahal yang paling penting adalah nilai yang menyusun nilai rapor sebagaimana rekam medis di rumah sakit, tracking minat bakat yang presisi,” jelas Mardhani.

PSKK selama ini banyak melakukan penelitian mengenai relasi pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja khususnya di level SMK dan Vokasi. Sukamdi mengatakan, saat ini pengangguran didominasi oleh lulusan SMK dan juga perguruan tinggi. Padahal dalam 5 tahun terakhir Presiden Joko Widodo (Jokowi) gencar mendorong perubahan kurikulum terutama di SMK dan Vokasi agar lebih terhubung dengan dunia industri.

“Artinya memang develop kurikulum dan evaluasi pendidikan di SMK dan Vokasi belum sesuai kebutuhan industri. Nah Nadiem yang tahu dengan gerak industri ke depan, semestinya bisa mendevelop yang benar-benar linked (antara sekolah dan industri),” papar Sukamdi.

Ujang Fahmi mempertanyakan berbagai program di Kemendikbud yang selama ini tidak jelas evaluasinya. Sertifikasi dan kenaikan gaji dan tunjangan guru misalnya, berulang kali dipertanyakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, apa dampaknya bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Dari banyak uji ukur yang dibuat lembaga pemeringkat internasional, Indonesia terus saja kedodoran.

Kata kuncinya menurut Ujang Fahmi, proses di kelembagaan Kemendikbud masih jauh dari efektif dan efisien sehingga banyak kebijakan tidak jelas sasaran dan evaluasinya. Maka kehadiran Nadiem di Kemendikbud mesti menjadi contoh untuk lembaga negara lain bagaimana mendigitalisasi data dan utilisasi data analitik dalam proses pengelolaan lembaga negara di Indonesia.

“Sertifikasi guru, gaji, dan tunjangan, bagaimana relasinya dengan kualitas siswa? Dengan data, bisa ditrack dalam hitungan detik, bisa dimonitor setiap saat,” katanya.

Mengikis Kesenjangan

Sukamdi mengingatkan, problem kualitas pendidikan mengejar kebutuhan industri, jangan sampai melupakan problem kesenjangan kota dan desa. Hal itu tidak hanya menyangkut pendidikan semata namun juga bagaimana kebijakan ekonomi menempatkan desa dalam ekonomi secara luas.

Jangan sampai, pendidikan menjadi bias kota sehingga terjadi apa yang disebut sebagai Sukamdi sebagai brain drain dari desa kota yang dampaknya adalah hanya kaum jompo dan bukan pemuda terbaik lah yang tinggal di desa.

“Artinya harus ada kebijakan ekonomi yang tepat untuk desa, desa berdaya dan terkonek produknya dengan pasar secara luas dan kualitas pendidikan dipenuhi sesuai kebutuhan desa-desa. Jangan sampai bias kota nanti jadi urban semua dan menciptakan masalah baru, kesenjangan ekonomi dan budaya, desa dan kota,” papar Sukamdi.

Bahkan, tanpa kebijakan ekonomi dan industri yang tepat, brain drain tidak hanya terjadi dari desa ke kota namun juga dari Indonesia ke negara lain.

“Tanpa industri yang bisa menyerap tenaga kerja yang disiapkan Nadiem, pakar IT pun akan kerja ke luar,” katanya.

Kemiskinan dan kesenjangan akses pendidikan, menurut Sukamdi, jadi PR besar Nadiem. Bagaimana anak-anak miskin bisa melanjutkan sekolah dan bagaiamana anak orang miskin bisa terbuka aksesnya terhadap pekerjaan terbaik di negeri ini, menurut Sukamdi, jadi kontras lain dari isu teknologi dengan masuknya Nadiem sebagai Mendikbud.

“Banyak sekolah dan anak sekolah yang komputer saja belum pernah megang, akses internet dan kecepatannya juga belum merata,” kata Sukamdi.

Tentang hal itu, Mardhani Riasetiawan, menempatkannya sebagai masalah utama yang harus dipecahkan Nadiem sebelum mulai menggarap digitalisasi data pendidikan.

Problem, sebagai penggerak utama dari startup teknologi untuk mendisrupt bisnis yang telah status quo, di urusan pendidikan, menurut Mardhani, adalah terbatasnya akses pendidkan hanya di layanan formal.

“Kuota sekolah dan pendidikan tinggi terbaik sangat rendah. Itu menurut saya problem utama pendidikan di Indonesia sebelum soal data,” kata Mardhani.

Nadiem, dengan pengalamannya membangun gojek yang bisa menservice kebutuhan transportasi dan pengantaran makanan dengan mengubah model bisnisnya, menurut Mardhani mesti bisa mendeliver pendidikan terbaik dengan bisnis model baru sehingga terdeliver ke sebanyak mungkin siswa yang membutuhkan.

“Bagaimana mendorong sekolah dan kampus move on ke platform digital, tidak hanya untuk fasilitas di dalam, tapi juga ke ranah proses pembelajaran sehingga siswa didik di mana pun memiliki kemampuan self learning. Itu yang terpenting,” kata Mardhani.

 

Sumber : https://kumparan.com/pandangan-jogja/menunggu-nadiem-makarim-mengubah-kemendikbud-jadi-startup-decacorn-1s7JMd9cCoA

 

Silahkan login untuk meninggalkan balasan.

Pesan

Notifikasi