Para orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah eks rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi mengeluhkan pungutan dana sumbangan pendidikan (DSP) yang besarnya jutaan rupiah. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapuskan sekolah RSBI, termasuk pungutan terkait status sekolah tersebut.
Selain itu, orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah non-RSBI juga mengeluhkan besarnya pungutan sekolah itu. Mereka menuntut janji Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, yang menjanjikan pendidikan gratis sampai tingkat SMA/SMK saat kampanye pemilihan gubernur yang lalu.
"Saya orang tua siswa SMPN 5 yang baru masuk kelas 7. Saya sangat bingung karena diminta sumbangan jutaan rupiah. Belum lagi uang lainnya. Katanya untuk mutu seperti RSBI. Kalau uang BOS ke mana?" ujar Polan, bukan nama sebenarnya, orang tua siswa SMPN 5 Kota Bandung yang merupakan sekolah eks RSBI, belum lama ini.
Pengakuan hampir sama disampaikan Bunga, yang minta nama sebenarnya tidak dipublikasikan. Orang tua siswa kelas X (siswa baru) SMAN 2 Kota Cimahi, yang merupakan eks RSBI, ini mengaku kaget karena setiap siswa baru diwajibkan membayar DSP Rp 6,9 juta. Informasi itu diperolehnya dalam rapat komite SMAN 2 Cimahi di aula sekolah tersebut, belum lama ini.
Dalam rapat itu para orang tua siswa yang hadir banyak yang protes dan mempertanyakan masih adanya dana sumbangan dan SPP. Padahal status RSBI di sekolah itu sudah dihapuskan sehingga mendapat dana bantuan BOS dari pemerintah.
"Memang untuk DSP itu cara pembayarannya bisa dicicil sampai empat kali. Namun tetap saja bagi orang tua yang ekonominya menengah pas-pasan seperti saya ini, uang sebesar itu sangatlah memberatkan," tuturnya saat ditemui Tribun di kediamannya di Cimahi, belum lama ini.
Menanggapi banyaknya protes dari orang tua siswa, dalam rapat itu pihak sekolah menurunkan besaran DSP dari Rp 6.984.744 menjadi Rp 6,9 juta. "Saat itu pihak sekolah mengatakan, yang merasa tidak mampu membayar harus menyertakan SKTM (surat keterangan tidak mampu) dari RT/RW tempat tinggal orang tua siswa. Tapi kami yang protes ini bukan warga yang tergolong miskin. Kami ini termasuk menengah, tapi angka itu bagi kami jelas memberatkan. Dan NEM anak saya tergolong tinggi," katanya.
Selain itu kata dia, pihak sekolah tetap mengharuskan setiap siswa membayar DSP karena untuk mempertahankan mutu. "Karena sebelumnya sekolah ini sudah RSBI, masa sekarang mau mundur. Dulu siswa menggunakan kursi putar dan ruangan ber-AC, dan sekarang kondisinya sudah rusak," katanya.
Menurut Bunga, selain soal DSP, pada 10 Juli 2013 setiap siswa diberi selebaran untuk membayar kebutuhan sekolahnya sebesar Rp 710 ribu. Adapun rinciannya adalah untuk iuran OSIS Rp 180 ribu, pameran pendidikan dan kreativitas siswa Rp 45 ribu, GSK Rp 35 ribu, partisipasi kegiatan perpisahan kelas XII Rp 25 ribu, partisipasi kegiatan Iduladha Rp 35 ribu, kegiatan pesantren Ramadan Rp 30 ribu, seragam batik siswa dan atribut Rp 165 ribu, seragam olahraga Rp 165 ribu, dan MOPD Rp 30 ribu.
"Saya menyadari pasti ada yang harus dibayar untuk menyekolahkan anak. Tapi pihak sekolah kan sudah dapat bantuan dari pemerintah, sebaiknya ya jangan sebesar itu lah. Kan kemampuan masyarakat itu berbeda-beda," katanya.
Orang tua murid SDN Percobaan Cileunyi, Kabupaten Bandung, yang merupakan eks RSBI, juga mengeluhkan hal serupa. Meski label RSBI di sekolah itu sudah dihapus, murid baru yang akan masuk ke sekolah itu harus membayar DSP Rp 1,5 juta.
"Waktu masih RSBI murid baru dikenai Rp 3,5 juta untuk biaya masuknya. Terus ada juga uang SPP Rp 100 ribu per bulan. Kalau sekarang sudah tidak ada uang bulanan, tapi diganti sumbangan sukarela," katanya.
Meski telah dihapuskan, anaknya yang duduk di kelas dua SD sempat merasakan kurikulum berbasis RSBI. Walau pada semester kedua RSBI telah dihapuskan, pihak sekolah masih melanjutkannya. Namun murid yang baru masuk tahun ini sudah menggunakan kurikulum seperti SD yang lain.
"Kalau sumbangan sukarelanya tiap angkatan berbeda-beda. Kelas satu Rp 100 ribu per bulan, kelas dua Rp 50 ribu per bulan. Nah, untuk kelas enam Rp 10 ribu. Jadi akan terus berkurang sumbangannya setiap angkatan itu," ujarnya.
Pihak sekolah pun tidak memaksakan untuk membayar sumbangan setiap bulannya. Jika orang tua mampu, dipersilakan untuk berpartisipasi.
Hal senada disampaikan Palias, juga bukan nama sebenarnya, orang tua siswa baru SMKN 3 Bandung, yang merupakan sekolah non-RSBI. Saat mendaftar di SMK tersebut, ia diminta memberikan DSP, iuran bulanan, dan sebagainya, yang mencapai Rp 4.205.000.
Dalam surat pemberitahuan yang ditunjukkan kepada Tribun, tertera rincian biaya pendidikan untuk siswa baru, yakni DSP Rp 3.500.000, sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bulan Juli Rp 200.000, biaya praktikum untuk 1 tahun Rp 400.000, iuran pokok koperasi siswa untuk 3 tahun Rp 100.000, dan iuran wajib koperasi siswa per bulan Rp 5.000. Terdapat keterangan di surat tersebut, mengenai cicilan DSP yang bisa dilakukan maksimal 10 kali.
"Yang aneh, anak saya mulai belajar Agustus, tapi justru diminta uang SPP bulan Juli," kata Palias. Palias mengutarakan, setahu dia melalui edaran-edaran, Dinas Pendidikan Kota Bandung melarang pungutan uang bangunan, uang daftar ulang, dan lain-lain. Ia mempertanyakan mengapa larangan ini tidak ditegakkan.
Palias pun bertanya-tanya dengan janji kampanye Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang menjanjikan sekolah gratis hingga tingkat SMA/SMK. Ia masih mengingat janji tersebut, bahkan ketika Heryawan masih berpasangan dengan Dede Yusuf. "Sekarang sudah dua kali menjabat, ternyata masih bayar (sekolah)," ujarnya.
Orang tua siswa SMKN 3 ini mengatakan sudah mengangkat topik ini di depan pihak sekolah, tapi jawaban yang didapat tak memuaskan. "Waktu mempertanyakan soal biaya, saya tanya bagaimana kalau tidak bisa bayar, pihak sekolah bilang ya harus bayar. Saya juga mempertanyakan janji gubernur. Pihak sekolah jawab, mereka (gubernur dan wakil) kan janji untuk mendapatkan dukungan dari suara masyarakat, bukan pihak sekolah yang berjanji seperti itu," tuturnya.
Merasa tak mendapat keadilan dan informasi jelas mengenai penggunaan biaya pendidikan yang harus dibayar, ia memutuskan untuk tidak membayar DSP dan SPP bulan Juli. Ia mengaku tak sanggup membayar, apalagi penghasilannya yang tak menentu dari hasil berjualan makanan.
(Sumber :tribunnews.com) |